Pulang

Kecuali pulang, hendak kemanakah dirimu saat merasa ada yang hilang. Selain pulang, kearah manakah aku berhenti bertualang.

 

Kau dan aku mungkin juga hanyalah pertemuan tak sengaja saat memilih pulang. Biarkan semua berjalan tanpa penghalang. Kita berjalan saling menunjuk alamat pulang. Semoga kelak di antara kita datang menggandeng untuk sebuah rute baru dalam bertualang.

 

Kemanapun aku beranjak, dimanapun kamu berpijak, juga bagaimanapun kita berjejak, pulang adalah memeluk ingatan.  

 

Apabila air mata adalah cinta, maka tangisku adalah merindu wajah ibu lewat harihari yang berlalu. Dengan kata lain, tangisku pada dirimu hanyalah melafal sajak ibu menuju dekapanmu. Saat kau dan ibu menyatu dalam dingin, rumah ibu menjadi alamat pulang penuh ilalang kerinduan, rumahmu pun menjadi alamat pulang yang hendak tercatat dalam doa ibu.

 

Pulang, hanyalah jalan lurus. Membuatku terus menerus menghapus masa lalu. Menggerus kisahkisah rakus yang terserat arus. Aku tak ingin hangus, sebab itu aku kembali pada asal muasal segala ritus.

 

Pulang, lewati banyak simpang. Mengajarkanku hikmah cinta dari derita berulang. Merapikan kisah usang menjadi cemerlang. Aku ingin semuanya terang, sebab itulah simpang diciptakan. Ketika jalanjalan saling silang, aku memecah karang mencium elang yang terbang. Demikian aku kembali, kemanakah kau berlalu, tetap saja kita akan mengetuk satu pintu.

 

Aku datang, aku memerlukan pulang, demikianlah aku kembali ketika mulai banyak halang.

Aku datang, aku membayangkan pulang, demikianlah kiranya rindu semakin menggebu

1 Komentar

Filed under Ceritaisme

Jauh

Tibatiba saja kita kita jauh, saat subuh belum sempat jatuh, dan mimpi tentangmu lepas tak terengkuh. Seperti halhal yang sering terlupakan begitu saja. Kita memilih jauh untuk sekadar menguji sekeras apa dada bertabuh.  

 

Pada mulanya kita jauh, lalu bertukar riuh, sampai akhirnya dada kita saling bergemuruh dan tahu kemana akan berlabuh.

 

Seperti kamu, hujan jatuh hanya sekadar menyentuh tubuh. Sebab jauh adalah percintaan tanpa nada. Mengalun sembunyi melangkah pasti, lalu tibatiba saja ada yang jatuh. Menjalar melewati nalar, bernyanyi sendu, lalu tibatiba saja ada yang tersentuh. Dan jauh terkadang memberi luka rasa sembuh.

 

Kemana aku cari hakikat jauh? Andaikan semua bisa dinamai dekat, mungkin tak pernah merasakan hening. Andaikan semua memilih jauh, aku dan kau hanyalah riuh yang tak bersambut.

 

Satupersatu kita membatu tertelan waktu. Hendak memilih kemana tubuh berteduh. Saat kau memilih menghilang di telan ilalang. Dan aku terdiam digigit malam.

 

Maka biarlah ada jauh: sekadar tanda kita kan dekat kembali. Seperti bulan kepada malam, melepas dekat tuk kian melekat. Aku dan kamu, lahir dari banyaknya jauh. Melepas pergi dari ujung sudut mataku, dan kau muncul di balik punggungku.

 

Biarlah aku mencintai jauh dengan segala riuh, semacam angin pada langit, mengabarkan yang tak terdengar.

 

Sabarlah pada sebuah jauh, sebab kita akan saling merengkuh.

Tinggalkan komentar

Filed under Ceritaisme

Dan Jika Saja

Dan jika saja menjadi cinta

Akankah kau biarkan

Dengan perjumpaan sekali saja

 

 

Sudah lama aku tidak mencoba menebak, entah apa yang mengusik diri, saat baru saja aku selesai bersuci. Kau datang tanpa desir debu desah angin, jiwa tetiba saja limbung dibumbung perasaaan tak bersuara. Ketika aku melepaskan doadoa satu muara satu nama, gemuruh langit menyempit pada wajahmu. Dan jika saja langit tak begitu sulit untuk kukait, masihkah aku biarkan, wajah dan suaramu datang silih berganti tanpa pelangi. Sekiranya, bukalah aku berpunya hati kau memegang kunci.

 

Sudah lama aku tidak mengeja makna, seketika kau tiba tanpa sebutkan nama: aku mengapit jari menghadap langit, terkecuali hati semacam terhimpit. Kita tidak pernah tahu akan akhir dari langit berganti cuaca, kecuali mencoba menebak bahwa akan ada yang terjebak. Seumpama asap kepada api, yang membumbung ketika api meninggi, begitupun aku kepada kamu, yang melambung ketika hati bertemu kunci.

 

Ketahuilah, jika entah ada esok ada pelosok, kau tetiba diam menahan dada mengeram, kembalilah padaku membawa nama. Pahamilah, apabila entah ada kenangan dan masa depan, aku terbunuh harapan, datanglah ke nisanku, mimpi abadi terindahku adalah melihatmu.

 

Dan jika saja

kau merindu sebab peristiwa tak bernama, masihkah kau melewatkanku begitu saja. Ketika kamar rumahmu menjadi malam tanpa bulan sedikitpun datang. Meskikah tak kaubuka jendela sekadar mendengar suit angin, ada debar jantungku terpaut bersamanya. Merindu tanpa kamu, semacam langit tak berawan: hampa.

 

 

Dan jika saja

Cinta memang memilih. Haruskah aku membiarkan kalbu penuh ragu untuk sekadar menyebut namamu.

 

Dan kalaupun

Cinta sebab dipilih. Biarlah aku menunggu tanpa ragu, sebab doaku berujung namamu. Dengan segala kejutan, Tuhan akan berikan cinta yang lahir dari ingatan.

 

Dan jika saja, aku

Dan kalaupun, kamu

Biarlah kita tak menyesal dari banyaknya kebahagiaan tak bernama.

1 Komentar

Filed under Ceritaisme

Kamu

 

/1/
Mendekatimu, berarti mendekati Tuhan

pada musimmusim tak bernama
serupa penikmat tasbih
mengingatmu, tak rasakan buih
begitupun aku
kaulah ibadahku

/2/
Mencintai itu, kamu
Seperti nafas yang lepas
Aku jantungmu, kau detakku
pasrah

/3/
Aku tak mengerti cinta
kecuali kamu.
ketika angin menghempas ingin
selepas bayangmu tertinggal sendiri
aku diam disapa malam

1 Komentar

Filed under Ceritaisme

Kawan

           :AADT

 

Sore itu 20 maret, angin sepoisepoi

 

kau lihat semutsemut berjalan satu

itulah kita pada dunia

 

adakah yang lebih indah: pada langit pecah?

Selain kita tersenyum renyah.

 

2 Komentar

Filed under Ceritaisme

Awan

            :Uni

Kau mungkin akan pergi, menanggalkan hari

menyapu pagi. Dan itu pasti

 

bersama petir getir

kau sisakan langit sempit

kau ciptakan hujan tanpa awan.

Mendung dikandung rahim horizon

 

Aku sediakan kolam penuh masa silam

Meski hanya bisa melihat,

hendakkah kau lahir serupa air

menuju bambu, batu, dan kalbu

yang lama tak tersentuh basah

2 Komentar

Filed under Ceritaisme

Jarak

Kau dan aku, hanyalah sisasisa perasaan. Dari percakapan bermula hingga akal lupa dimana kita berada. Setelah sekian lama mengalami ilusi, kita mencoba mengerti: memeluk hati cukuplah seperlunya. Masih ada harihari kita bisa dengarkan desah daun basah.

 

Helaihelai rumput tersipu, hujan bernyanyi sepi, mungkinkah terlalu yakin pada sendiri. Aku ragu, bisakah sejenak saja kita berbeda sapa. Aku takut, rasa kalut mengusik kesendirian kita. Sebab inilah kita yang memilih ilusi, dibanding sendiri sebagai sepi. Sebab aku belum mendefinisikan rindu, maka biarlah tak ada sudut pada percakapan kita. Biarkan begitu saja.

 

Bilapun aku harus berhenti mencintaimu dalam detik dan detak. Biarlah aku pergi, meninggalkanmu pelangi dan senja. Langit merah mega, kepakkepak malaikat memetik gitar sebagai pengiring pergiku. Sebab pergi itu pasti, anggaplah itu caraku mencintaimu. Mari kita mengenal rindu. Baca lebih lanjut

2 Komentar

Filed under Ceritaisme

Sefni Yenti

“Kala itu, Rabu 20 Maret, sore hari, saat angin bertiup sepoy-sepoy, angin yang hanya menggerakkan daun telinga, tak sampai menyentuh gendang telinga” _Iman

Kali ini tentang Iman. Eh tapi bukan iman dalam pandangan agama yang secara harfiah berarti percaya. Ini tentang seorang kawan yg unik dan menarik, Iman. Entah apa yg ada dalam bayangan kalian ketika saya menulis tentang Iman. First of all saya mau konfirmasi dulu bahwa tulisan ini saya persembahkan untuk seorang Iman, kawan baik yg baru saya kenal September 2012. Tak lama memang jika dihitung sampai hari ini, tapi jujur saya terkesan #bukanmodus.

Saya mengenal Iman lewat tulisan, jauuuh sebelum saya bertemu dengannya di dunia persilatan. Iman dalam bayangan awal saya adalah seperti tulisannya, kreatif, nyeni, dan berwawasan luas. Tak butuh waktu lama untuk saya buktikan imajinasi itu di dunia nyata. Ya, memang demikianlah iman, seorang seniman, arkealog, antropolog dan mungkin psikolog. Sebuah paket lengkap yang unik…

Lihat pos aslinya 388 kata lagi

Tinggalkan komentar

Filed under Ceritaisme

Gerimis

terlalu banyak gerimis di mataku, mengalir ke dalam jiwa

tak juga deras, masih juga enggan reda. Memaksa membayangmu

padahal wajahmu adalah setuang siksa dan sesendok surga pada gelas
kehidupanku. Di hatiku terbuka pintu, tertinggal kuncinya pada tanganmu.
Gerimis di hati, membentuk kolam tanpa ikan.

2 Komentar

Filed under Ceritaisme

Kau dan Aku

 

 

Pada mulanya kita diam, tak saling kenal.

Lalu ada cakap, mengalir menjalin cerita, lalu berpisah.

Bukan berakhir, tapi menyiapkan sesuatu

1 Komentar

Filed under Ceritaisme