Taman Tarakan

Gambardisparbud.jabarprov.go.id

Imsak

Gersanglah mereka, yang mencintai wanita dan menjadikan jiwanya luka dari tubuh pria. Wahai manusia: sebarkanlah kedamaian meski cinta dalam persikuan imsak dan fajar menyeruak. Tak ada angin yang berhembus kecuali dia membawa pesan dari kasih yang tertahan buih. Dia diam tenang, percaya pada kita yang terdesak, siap melabuh, mengangkat jangkar dan lintasi wahana tak berdepa.

Aku tak memilih, dan hanya menahan buih dari sekian banyak rasa perih

Aku menyimpan tubuhmu di dada kiriku, dan memendam jiwamu pada serambi jantung kananku.

Mari kita berjalan, di tarakan yang sesak penuh kenangan. Mari berkawan pada luapan, emosi yang kalap, sebab tak ada pilihan di hari yang panjang selain mencintai sempitnya kehidupan.

Aku berkenal mata dengannya saat malam di stasiun kereta, ketika aku duduk diam memandang kereta terakhir melintas. Saat aku menunggu seorang yang sudah lama kukenal, sampai tiang listrik bernyanyi berkali-kali. Aku berkenal mata dengannya, berlabuh di penghujung subuh kau hantar segelas air dan dua kue dingin. Kembalilah pada majikanmu, aku sudah cukup dengan memandang sebagai bekal panjang siang nanti.

Awal menuju syawal telah menabuh genderang perang. Siapa berkelana membawa bekal baik, dia siap disambut musim tropis yang manis. Dan anak-anak berhimpun ramai. Sekan tak memberi ampun surau bergurau remeh, “tak akan pernan manusia memenuhi halamanku di fajar ini”. Sambil memperbaiki lipatan sarung, wanita tua dan pria paruh usia yang kekenyangan senja berebut barisan, bahwa yang tua adalah utama, dan itulah tanda mapan paling kolot untuk bisa berdiri didepan. Oh, bagai ombak di pantai, begitu cepat menyentuh jemari dan dengan segera lari ke jauh. Entah biarlah, segala adalah cepat dengan ketidaksiapan.

Cepat kasih, cepat kau putih. Ini kuncup kerinduan.

Bermekarlah mereka, yang memuliakan wanita dengan tidak lelah memberi bunga juga cinta.

Kita akan menjahit sepasang baju putih, dengan bekal bahan yang banyak, mungkin kelak kita akan menjadikanya baju mungil dan lucu. Berikan jarum itu, akan kumasukkan benang kecintaanku, bahwa cintaku hanyalah berkas mini yang kelak nanti akan kau pegang jalankan mimpi.

Hujan Tanpa Awan

Telah tiba kita dibelokan waktu

Saat kerinduan berjalan tanpa detik apalagi menit

Menari nari dilembah bunga yang dihiasi kembang perlambang

Terumbu madu berminum bulir hilir air

Kau sudah kembali, di hujan tanpa awan

Saat semua sudah lupa akan masa depan

Hendak kemana, kecuali meremas langit

Biar lemas dan menelurkan awan

Agar hujan kembali berawan dan menemukanmu

Sediakala saat berkenalan

Siang Lebih Panjang

aku mendapatkan namanya, ya namanya Ema, di tumpukan buku tua milik ayah. Nama yang cukup tua dan klasik. Aku bertemu namanya, ya namanya ema, di tumpukan buku tamu pernikahan temanku. Nama yang cukup muda dan penuh cinta. Semua terjadi dalam satu waktu, di masa siang lebih panjang dari biasanya.

Dan aku mencoba mencintai, karena tak ada percobaan paling mulia selain mencintai manusia.

Sebuah siang lebih panjang, di taman tarakan dan hujan tanpa awan.

Bergegaslah Ema dari tumpukan pasir itu, tangan kananmu hanyalah tanah, dan kirimu hanya basah. Semua pasrah menunggu lelah.

Siang akan lebih panjang dari batasnya. Sebab kita ingin terus bersama. Malam akan menjadi singkat, sebab kita tak mau berlama dalam rindu.

Kemari dan teguklah segelas mimpi yang baru saja menetas.

Pegang tanganku, kita akan menyenangi perjalanan ini. Di ujung sana ada senja!

2 Komentar

Filed under Ceritaisme

2 responses to “Taman Tarakan

Tinggalkan Balasan ke Sinau Batalkan balasan